Rabu, 20 Februari 2008

PERDA Kota Tangerang Nomor 7 dan 8 tahun 2005

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG
NOMOR 7 TAHUN 2005
TENTANG
PELARANGAN PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA TANGERANG,

Menimbang :

a. bahwa minuman beralkohol pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas serta untuk menunjang ketertiban umum dan ketertiban masyarakat perlu adanya pelarangan pengedaran dan penjualan minuman beralkohol yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
  4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3518);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
  6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 1992 tentang Perdagangan Barang-barang Dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2473);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
  10. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
  11. Peraturan Daerah Nomor 18 tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3) (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 Seri C);
  12. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 7 Seri D);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANGERANG
dan
WALIKOTA TANGERANG

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PELARANGAN PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1.Daerah adalah Kota Tangerang.
2.Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang.
3.Walikota adalah Walikota Tangerang.
4.Tim adalah tim yang dibentuk oleh Walikota dengan Keputusan atau Peraturan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari Dinas/Instansi dan pihak terkait lainnya.
5.Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota Tangerang.
6.Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang di proses dari bahan hasil kimia atau pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak,maupun yang di proses dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol.
7.Pengedaran Minuman Beralkohol adalah Penyaluran Minuman Beralkohol untuk di perdagangkan di Daerah.
8.Toko Bebas Bea ( Duty Free Shop ) adalah perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang tempat penimbunan berikat dan surat keputusan Menteri Keuangan No.109/KMK.00/1993 tentang Toko Bebas Bea (Duty Free Shop) yang menjual minuman beralkohol secara eceran dalam kemasan.
9.Pengecer adalah perusahaan dan atau usaha individu yang menjual secara eceran minuman beralkohol, khusus dalam kemasan.
10.Penjual langsung untuk diminum adalah Perusahaan dan atau usaha individu yang menjual minuman beralkohol untuk diminum ditempat.
11.Hotel dan Restoran adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang pariwisata.
12.Rumah Sakit adalah sarana pelayanan kesehatan termasuk Rumah Bersalin, Puskesmas, Balai Kesehatan dan Praktek Dokter.

BAB II
PENGGOLONGAN MINUMAN BERALKOHOL

Pasal 2
Minuman beralkohol dikelompokan dalam golongan sebagai berikut :

a)minuman beralkohol golongan A yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1 % (satu prosen) sampai dengan 5 % (lima prosen);
b)minuman beralkohol golongan B yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5 % (lima prosen) sampai dengan 20 % (dua puluh prosen);
c)minuman beralkohol golongan C yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20 % (dua puluh prosen) sampai dengan 55 % (lima puluh lima prosen).

BAB III
PENGEDARAN, PENJUALAN DAN PENGUNAAN
Pasal 3

(1) Setiap orang atau Badan Hukum di Daerah dilarang mengedarkan, dan atau menjual minuman beralkohol golongan A, B dan C.

(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) pasal ini, minuman beralkohol yang mengandung rempah-rempah, jamu dan sejenisnya untuk tujuan kesehatan.

(3) Minuman untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Walikota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4
Siapapun dilarang menjadi penjual langsung untuk diminum ditempat minuman beralkohol golongan A, B dan C, kecuali di :

a. Hotel berbintang 3, 4 dan 5;
b. Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Seloka;
c. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sesuai dengan Keputusan/Peraturan Walikota.

Pasal 5

(1) Setiap orang dilarang menggunakan atau meminum minuman keras atau yang mengandung alkohol sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Peraturan Daerah ini di tempat-tempat umum.

(2) Tempat-tempat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan/Peraturan Walikota.

Pasal 6

Setiap orang dilarang mabuk ditempat umum di Daerah sebagai akibat meminum minuman beralkohol.

Pasal 7

Siapapun dilarang menjadi Pengecer minuman beralkohol golongan A, B dan C kecuali Toko Bebas Bea (Duty Free Shop) dan tempat-tempat sebagaimana dikecualikan dalam Pasal 4 Peraturan Daerah ini.

Pasal 8

(1) Toko Bebas Bea (Duty Free Shop) dilarang menjual minuman beralkohol golongan A, B dan C, kecuali secara eceran kepada :

a. anggota Korps Diplomatik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1957;
b. tenaga (Ahli) Bangsa Asing yang bekerja pada lembaga internasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1955;
c. mereka yang akan berpergian ke Luar Negeri;
d. mereka yang baru tiba dari Luar Negeri.


(2) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus dibuktikan dengan kartu identitas.

(3) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b pasal ini, yang dilakukan di toko Bebas Bea (Duty Free Shop) di luar terminal keberangkatan atau kedatangan hanya untuk dikonsumsi sendiri.

(4) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ayat (1) pasal ini, yang dilakukan ditoko Bebas Bea (Duty Free Shop) Terminal Keberangkatan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta harus dengan memperlihatkan paspor dan tanda bukti penumpang (Boarding Pass).

(5) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d pasal ini, yang dilakukan ditoko Bebas Bea (duty Free Shop) Terminal Kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta harus dengan memperlihatkan paspor dan tanda bukti penumpang (Boarding Pass).

BAB IV
PENYITAAN DAN PEMUSNAHAN
Pasal 9

(1) Semua minuman beralkohol golongan A, B dan C sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 yang ada di Daerah selain yang ada di tempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 Peraturan Daerah ini disita dan dimusnahkan.

(2) Tata cara Penyitaan dan Pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

(1) Pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. dalam hal pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan dan/atau penyidikan, dilakukan oleh penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau PPNS dengan disaksikan oleh Pejabat Kejaksaaan, Pejabat Pemerintah Daerah serta pihak terkait lainnya;

b. dalam hal pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan setelah putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pemerintah Daerah serta Pejabat dari Instansi terkait lainnya.

(2) Pemusnahan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan dengan pembuatan Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat :

a. nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atas asal minuman beralkohol;
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

BAB V
PENGENDALIAN

Pasal 11

Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 12

Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan, pemberantasan, peredaran dan penggunaan minuman beralkohol melalui kegiatan :

a. memberikan informasi adanya penyalahgunaan dan penyimpanan penggunaan minuman beralkohol kepada instansi yang berwenang;
b. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kasus yang terjadi yang berhubungan dengan peredaran dan perdagangan minuman beralkohol.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 13

(1) Barang siapa melanggar Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 7 Peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling tinggi sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(2) Barang siapa melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling tinggi sebesar Rp.5.000.000,- (Lima juta rupiah).

(3) Minuman beralkohol sebagai barang bukti pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, dirampas untuk dimusnahkan oleh instansi atau petugas yang berwenang.

(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, adalah pelanggaran.

BAB VIII
P E N Y I D I K A N

Pasal 14

Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 Peraturan Daerah ini, mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Industri/perusahaan minuman beralkohol yang sudah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dan telah memperoleh ijin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan tetap dapat menjalankan usahanya serta dapat membawa/mengangkutnya dengan melintas atau melalui jalan-jalan di Daerah sampai berlakunya ijin dengan ketentuan tidak boleh menjual dan/atau mengedarkan di Daerah.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Walikota.

Pasal 18

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang.

Ditetapkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005
WALIKOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. WAHIDIN HALIM
Diundangkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005
SEKRETARIS DAERAH KOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. M. HARRY MULYA ZEIN
LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E





PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG
NOMOR 8 TAHUN 2005
TENTANG
PELARANGAN PELACURAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA TANGERANG,

Menimbang :

a. bahwa Pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat;

b. bahwa dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek Pelacuran di Kota Tangerang, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pelarangan Pelacuran;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039);

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3518);

4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

8. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 Seri C);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANGERANG
dan
WALIKOTA TANGERANG

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

PERATURAN DAERAH TENTANG PELARANGAN PELACURAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1.Daerah adalah Kota Tangerang.
2.Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang.
3.Walikota adalah Walikota Tangerang.
4.Pelacuran adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik ditempat berupa Hotel, Restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di Daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa.
5.Tim adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari Dinas/Instansi dan pihak terkait.
6.Pelarangan adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/ tidak diperkenankan.
7.Pelacur adalah setiap orang baik pria ataupun wanita yang menjual diri kepada umum untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
8.hubungan Seksual adalah hubungan perkelaminan antara dua jenis kelamin yang berbeda atau dua jenis kelamin yang sama.

BAB II
PELARANGAN

Pasal 2

(1) Setiap orang di Daerah baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dilarang mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan pelacuran.

(2) Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi tempat-tempat hiburan, hotel, penginapan atau tempat-tempat lain di Daerah.

Pasal 3

Setiap orang dilarang membujuk atau memaksa orang lain baik dengan cara perkataan, isyarat, tanda atau cara lain sehingga tertarik untuk melakukan pelacuran.

Pasal 4

(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.

(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau ditempat-tempat yang kelihatan oleh umum.

BAB III
PENINDAKAN DAN PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Penindakan

Pasal 5

(1) Walikota berwenang menutup dan menyegel tempat-tempat yang digunakan atau yang patut diduga menurut penilaian dan keyakinannya digunakan sebagai tempat pelacuran.

(2) Tempat-tempat yang ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilarang dibuka kembali sepanjang belum ada jaminan dari pemilik/pengelolanya bahwa tempat itu tidak akan digunakan lagi untuk menerima tamu dengan maksud melakukan perbuatan pelacuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 6

Terhadap orang yang terjaring razia karena melanggar ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah ini, Walikota atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan yang bersangkutan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya melalui Kepala Kelurahan untuk dibina.

Bagian Kedua
Pengendalian

Pasal 7

Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim.

Bagian Ketiga
Partisipasi Masyarakat

Pasal 8

(1) Setiap masyarakat atau siapapun berkewajiban untuk melaporkan kepada petugas atau pejabat yang berwenang apabila ia mengetahui langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran.

(2) Petugas atau pejabat yang berwenang setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, wajib menindaklanjutinya serta memberikan perlindungan kepada si pelapor.

BAB IV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 9

(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini, diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, adalah Pelanggaran.

BAB V
P E N Y I D I K A N

Pasal 10

Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Peraturan Daerah ini, mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut :

a.Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana;
b.Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c.Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.Melakukan penyitaan benda atau surat;
e.Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f.Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g.Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h.Menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
i.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.


(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 12

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan kemudian oleh Walikota.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang.

Ditetapkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005
WALIKOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. WAHIDIN HALIM

Diundangkan di T a n g e r a n g
Pada tanggal 23 Nopember 2005
SEKRETARIS DAERAH KOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. M. HARRY MULYA ZEIN
LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG TAHUN 2005 NOMOR 8 SERI E