Minggu, 24 Februari 2008

RUU Pelayanan Publik

PRANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR……TAHUN……

TENTANG
PELAYANAN PUBLIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a. bahwa kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan pemerintah merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
c.bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk, serta pemerintah sebagai perwujudan negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik perlu didasarkan pada norma-norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d.bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah, maka diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya;
e.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c dan d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pelayanan publik.

Mengingat:
1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dan ditambah.
2.Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYANAN PUBLIK


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
2.Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, serta lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah.
3.Aparat Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Aparat adalah para pejabat, pegawai, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi Penyelenggara.
4.Masyarakat adalah seluruh pihak yang berkedudukan sebagai penerima manfaat dari pelayanan baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, orang-perorangan, maupun badan hukum.
5.Standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari Penyelenggara kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas
6.Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis dari Penyelenggara berisi janji-janji Penyelenggara untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar pelayanan serta dipublikasikan secara luas.
7.Sistem informasi adalah mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun dokumen elektronis tentang segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan yang dikelolanya.

BAB II
ASAS DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2

(1) Penyelenggaraan pelayanan publik dilaksanakan sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan tujuan undang-undang ini.
(2) Asas penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a.kepastian hukum;
b.keterbukaan;
c.partisipatif;
d.akuntabilitas;
e.kepentingan umum;
f.profesionalisme;
g.kesamaan hak;
h.keseimbangan hak dan kewajiban.

Pasal 3

Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik meliputi pelayanan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, serta lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah.

BAB III
PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK

Bagian Kesatu
Organisasi Penyelenggara
Pasal 4

Organisasi Penyelenggara dibentuk secara efisien dan efektif agar mampu menyelenggarakan tugas dan fungsi pelayanan publik dengan baik.

Pasal 5

Organisasi Penyelenggara sebagaimana dimaksud Pasal 4 mempunyai fungsi sekurang-kurangnya, meliputi:
a.pelaksanaan pelayanan;
b.pengelolaan pengaduan masyarakat;
c.pengelolaan informasi; dan
d.pengawasan internal.

Pasal 6

(1)Dalam rangka efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik terhadap pemberian pelayanan yang meliputi berbagai jenis pelayanan dapat dilakukan melalui pelayanan terpadu.
(2)Untuk pemberian pelayanan pada satu tempat, meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses, dan dilayani melalui beberapa pintu, diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu atap.
(3)Untuk pemberian pelayanan pada satu tempat dan meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses, diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu pintu.

Bagian Kedua
Larangan dan Kewajiban Aparat
Pasal 7

(1)Aparat dilarang merangkap sebagai pengurus organisasi, baik organisasi usaha, maupun organisasi politik yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh suatu Undang-Undang.
(2)Aparat yang merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi baik organisasi usaha, maupun organisasi politik yang tidak dikecualikan oleh suatu Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diberhentikan dari jabatan dan atau diberhentikan status kepegawaiannya.

Pasal 8

Aparat dilarang meninggalkan tugas dan kewajiban berkenaan dengan posisi atau jabatannya, kecuali mempunyai alasan yang jelas, rasional dan sah sesuai dengan hukum yang berlaku.

Pasal 9

Aparat wajib memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatannya.

Pasal 10

Aparat wajib memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pengelolaan Sumber Daya Aparatur
Pasal 11

Penyelenggara wajib menyelenggarakan rekrutmen dan promosi aparatnya secara transparan, tidak diskriminatif dan adil, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 12

(1)Penyelenggara wajib mengadakan evaluasi kinerja aparatur pelayanan publik di lingkungan organisasinya secara berkala dan berkelanjutan.
(2)Penyelenggara wajib menyempurnakan struktur organisasi, sumber daya aparatur dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1).
(3)Hasil evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilaporkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
(4)Evaluasi kinerja aparatur dan penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan berdasarkan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana tersebut dalam Pasal 2, serta indikator yang jelas dan terukur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Hubungan Antar Penyelenggara
Pasal 13

(1)Atas permintaan Penyelenggara lain, Penyelenggara dapat memberi bantuan kedinasan untuk suatu penyelenggaraan pelayanan publik yang memiliki keterkaitan dengan pelayanan yang diberikannya.
(2)Pemberian bantuan kedinasan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) harus didasarkan pada :
a.lingkup kewenangan dan tugas pelayanan publik tersebut yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Penyelenggara;
b.ketidakmampuan sumber daya manusia Penyelenggara, dan atau
c.ketidaklengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki Penyelenggara.

Bagian Kelima
Kerjasama Penyelenggara dengan Pihak Lain
Pasal 14

(1)Penyelenggara dapat menyerahkan sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak lain dalam bentuk perjanjian kerjasama penyelenggaraan pelayanan publik, sepanjang tidak menghilangkan tanggung jawab orisinilnya.
(2)Pihak lain sebagaimana dimaksud ayat (1) berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia yang kepemilikannya seratus persen dipegang oleh warga negara atau badan hukum Indonesia.
(3)Kerjasama sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak boleh menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.

BAB IV
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 15

Penyelenggara wajib menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik :
a.kesederhanaan;
b.kejelasan;
c.kepastian dan tepat waktu;
d.akurasi;
e.tidak diskriminatif
f.bertanggung jawab;
g.kelengkapan sarana dan prasarana;
h.kemudahan akses;
i.kejujuran;
j.kecermatan;
k.kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan; dan
l.keamanan dan kenyamanan.

Bagian Kedua
Standar Pelayanan
Pasal 16

(1)Penyelenggara wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dengan memperhatikan lingkungan, kepentingan dan masukan dari masyarakat dan pihak terkait.
(2)Penyelenggara wajib menerapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud ayat (1).

Pasal 17

Standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a.dasar hukum;
b.persyaratan;
c.prosedur pelayanan;
d.waktu penyelesaian;
e.biaya pelayanan ;
f.produk pelayanan;
g.sarana dan prasarana;
h.kompetensi petugas pemberi pelayanan;
i.pengawasan intern;
j.penanganan pengaduan, saran dan masukan; dan
k.jaminan pelayanan.

Bagian Ketiga
Maklumat Pelayanan
Pasal 18

Penyelenggara wajib menyusun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan secara jelas.

Bagian Keempat
Sistem Informasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 19

(1)Penyelenggara mengelola sistem informasi secara efisien, efektif, dan mudah diakses.
(2)Sistem informasi sebagaimana dimaksud ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a.jenis pelayanan;
b.persyaratan dan prosedur pelayanan;
c.standar pelayanan;
d.maklumat pelayanan;
e.mekanisme pemantauan kinerja;
f.penanganan keluhan;
g.pembiayaan; dan
h.penyajian statistik kinerja pelayanan.

Pasal 20

Dokumen, akta dan sejenisnya yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berupa produk elektronika atau hasil teknologi informasi, secara hukum dinyatakan sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Pengelolaan Sarana, Prasarana dan Fasilitas Pelayanan Publik
Pasal 21

Penyelenggara wajib mengelola sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel, serta berkesinambungan.

Pasal 22

Dalam melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud Pasal 21, Penyelenggara melaksanakan inventarisasi sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara sistematis, transparan, lengkap dan akurat.

Pasal 23

Aparat bertanggungjawab dalam pelaksanaan, pemeliharaan dan atau penggantian sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan.

Pasal 24

(1)Penyelenggara dilarang memberikan izin kepada pihak tertentu untuk menggunakan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik yang mengakibatkan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik tersebut tidak berfungsi atau tidak sesuai dengan peruntukannya.
(2)Pengalihan dan atau pengubahan fungsi peruntukan setiap sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik yang sebelumnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 25

(1)Penyelenggara yang bermaksud mengubah atau memperbaiki sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan publik, wajib memberikan pengumuman dan atau memasang tanda-tanda yang jelas di tempat yang mudah diketahui.
(2)Bentuk dan isi pengumuman sebagaimana dimaksud ayat (1) sekurang-kurangnya memuat nama kegiatan, nama penanggungjawab, waktu kegiatan dan manfaat.

Bagian Keenam
Pelayanan Khusus
Pasal 26

Penyelenggara wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperuntukkan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, dan balita.

Pasal 27

Penyelenggara dapat menyediakan pelayanan kelas-kelas tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelayanan.

Bagian Ketujuh
Biaya Pelayanan Publik
Pasal 28

Biaya penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak-hak sipil pada hakekatnya dibebankan kepada negara dengan tidak menutup kemungkinan ditetapkan pungutan biaya pelayanan kepada penerima layanan.

Pasal 29

Biaya pelayanan sebagaimana dimaksud Pasal 28 ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

Biaya pelayanan ditetapkan oleh Aparat yang berwenang dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal sebagai berikut:
a.tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat;
b.nilai/harga yang berlaku atas barang dan atau jasa;
c.rincian biaya yang jelas dan transparan ;
d.prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

Penyelenggara dilarang melaksanakan pelayanan publik yang tidak sesuai dengan pembiayaan atau mata anggaran yang disediakan khusus untuk itu.

Bagian Kedelapan
Perilaku Aparat dalam Penyampaian Layanan
Pasal 32

Aparat dalam menyelenggarakan pelayanan publik berperilaku sebagai berikut :
a.adil dan tidak diskriminatif;
b.peduli, telaten, teliti, dan cermat;
c.hormat, ramah, dan tidak melecehkan;
d.bersikap tegas dan handal serta tidak memberikan keputusan yang berlarut-larut;
e.bersikap independen;
f.tidak memberikan proses yang berbelit-belit;
g.patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h.menjunjung tinggi nilai-nilai dan integritas serta reputasi Penyelenggara demi menjaga kehormatan institusi Penyelenggara di setiap waktu dan tempat;
i.tidak membocorkan informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan;
j.terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k.tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana pelayanan;
l.tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi;
m.tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan atau kewenangan yang dimiliki;
n.sesuai dengan kepantasan umum dan
o.profesional dan tidak menyimpang dari prosedur.

Bagian Kesembilan
Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 33

(1)Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh Pengawas intern dan Pengawas ekstern.
(2)Pengawasan intern penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui :
a.pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.pengawasan oleh aparat pengawasan fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)Pengawasan ekstern penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui :
a.pengawasan oleh Ombudsman yang memiliki fungsi dan kewenangan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Bagian Kesepuluh
Pengelolaan Pengaduan
Pasal 34

(1)Masyarakat dapat menyampaikan keluhan atau pengaduan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara dan atau Ombudsman.
(2)Penyelenggara wajib menyiapkan sarana dan prasarana yang layak dalam pelaksanaan pengelolaan keluhan dan pengaduan.
(3)Berdasarkan keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ombudsman menyusun rekomendasi tindaklanjut.
(4)Penyelenggara wajib mengelola setiap keluhan dan pengaduan baik yang berasal dari penerima pelayanan maupun rekomendasi dari Ombudsman.

Pasal 35

(1)Penyelenggara wajib menyusun tata cara pengelolaan keluhan dan pengaduan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan prinsip penyelesaian yang cepat dan tuntas.
(2)Tata cara pengelolaan pengaduan dari penerima pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a.prosedur pengelolaan pengaduan;
b.penentuan pejabat yang mengelola pengaduan;
c.prioritas penyelesaian pengaduan;
d.pelaporan proses dan hasil pengelolaan pengaduan kepada atasan Aparat;
e.rekomendasi pengelolaan pengaduan;
f.penyampaian hasil pengelolaan pengaduan kepada pihak-pihak terkait;
g.pemantauan dan evaluasi pengelolaan pengaduan;dan
h.dokumentasi dan statistik pengelolaan pengaduan.

Pasal 36

(1)Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai prosedur pengajuan pengaduan.
(2)Penyelenggara wajib melaporkan tindak lanjut dari pengelolaan pengaduan pada akhir tahun kepada Menteri yang bertanggungjawab dibidang pendayagunaan aparatur negara.

Bagian Kesebelas
Indeks Kepuasan Masyarakat
Pasal 37

(1)Setiap Penyelenggara wajib melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara periodik.
(2)Untuk melaksanakan penilaian kinerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan melalui survai indeks kepuasan masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38

(1)Dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan peran serta masyarakat.
(2)Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik diwujudkan dalam bentuk kerjasama, pemenuhan kewajiban dan pengawasan masyarakat.

Bagian Kedua
Pengawasan Masyarakat
Pasal 39

(1)Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh perseorangan, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan atau Ombudsman.
(2)Pengawasan oleh perseorangan, masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dilakukan melalui pemberian informasi mengenai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan publik kepada pimpinan Penyelenggara, aparat pengawas fungsional, instansi terkait dan atau Ombudsman.
(3)Pengawasan oleh Ombudsman terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan melaporkan pelanggaran peraturan perundang-undangan, kepada pimpinan Penyelenggara dan atau institusi penegak hukum, untuk ditindaklanjuti.

BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA PELAYANAN PUBLIK
Pasal 40

(1)Masyarakat dapat menggugat atau menuntut Penyelenggara atau Aparat melalui Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal sebagai berikut:
a.tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik atau tidak memberikan pelayanan yang semestinya menurut standar pelayanan;
b.melalaikan atau melanggar kewajiban dan atau larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; dan
c.menyalahgunakan dan atau melampaui kewenangan yang dimiliki oleh Aparat.
(2)Gugatan atau tuntutan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan oleh:
a.perseorangan atau badan hukum yang bersangkutan;
b.masyarakat yang terdiri dari para penerima jasa yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikan organisasi adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik.

Pasal 41

(1)Penyelenggara dapat menjadi subyek hukum yang diwakili oleh pejabat yang bertanggungjawab di dalam organisasi Penyelenggara.
(2)Penuntutan dilakukan terhadap Aparat yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan atau Aparat yang terlibat langsung, baik secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 42

(1)Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat menimbulkan kerugian perdata atau bersifat melawan hukum, gugatan diajukan melalui Peradilan Umum.
(2)Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat mengandung unsur perbuatan pidana, tuntutan diajukan melalui Peradilan Umum.

Pasal 43

Masyarakat yang melapor kepada Ombudsman atau menggugat Penyelenggara ke Pengadilan termasuk saksi-saksi yang berkaitan dengan keluhan pelapor dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 44

(1)Penyelenggara yang melanggar kewajiban dan atau larangan yang diatur dalam Undang-Undang ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a.pemberian peringatan;
b.pembayaran ganti rugi; dan atau
c.pengenaan denda.
(2)Aparat yang melanggar kewajiban dan atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a.pemberian peringatan;
b.pengurangan gaji dalam waktu tertentu;
c.pembayaran ganti rugi;
d.penundaan atau penurunan pangkat atau golongan;
e.pembebasan tugas dari jabatan dalam waktu tertentu;
f. pemberhentian dengan hormat; atau
g, pemberhentian dengan tidak hormat.

Pasal 45

(1)Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 44, dilakukan oleh atasan Aparat atau pejabat dari Penyelenggara yang bertanggungjawab atas kegiatan pelayanan publik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Penyelenggara atau Aparat yang telah dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) dapat dilanjutkan pemrosesan perkara ke Lembaga Peradilan Umum bila memenuhi ketentuan Pasal 42.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 46

Penyusunan dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, dan tata cara pengelolaan pengaduan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini harus dipenuhi selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47

Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
Pada tanggal…..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal .........................
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
YUSRIL IHZA MAHENDRA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN……... NOMOR ..........

Rabu, 20 Februari 2008

PERDA Kota Tangerang Nomor 7 dan 8 tahun 2005

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG
NOMOR 7 TAHUN 2005
TENTANG
PELARANGAN PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA TANGERANG,

Menimbang :

a. bahwa minuman beralkohol pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas serta untuk menunjang ketertiban umum dan ketertiban masyarakat perlu adanya pelarangan pengedaran dan penjualan minuman beralkohol yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
  4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3518);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
  6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 1992 tentang Perdagangan Barang-barang Dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2473);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
  10. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
  11. Peraturan Daerah Nomor 18 tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3) (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 Seri C);
  12. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 7 Seri D);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANGERANG
dan
WALIKOTA TANGERANG

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PELARANGAN PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1.Daerah adalah Kota Tangerang.
2.Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang.
3.Walikota adalah Walikota Tangerang.
4.Tim adalah tim yang dibentuk oleh Walikota dengan Keputusan atau Peraturan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari Dinas/Instansi dan pihak terkait lainnya.
5.Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota Tangerang.
6.Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang di proses dari bahan hasil kimia atau pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak,maupun yang di proses dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol.
7.Pengedaran Minuman Beralkohol adalah Penyaluran Minuman Beralkohol untuk di perdagangkan di Daerah.
8.Toko Bebas Bea ( Duty Free Shop ) adalah perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang tempat penimbunan berikat dan surat keputusan Menteri Keuangan No.109/KMK.00/1993 tentang Toko Bebas Bea (Duty Free Shop) yang menjual minuman beralkohol secara eceran dalam kemasan.
9.Pengecer adalah perusahaan dan atau usaha individu yang menjual secara eceran minuman beralkohol, khusus dalam kemasan.
10.Penjual langsung untuk diminum adalah Perusahaan dan atau usaha individu yang menjual minuman beralkohol untuk diminum ditempat.
11.Hotel dan Restoran adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang pariwisata.
12.Rumah Sakit adalah sarana pelayanan kesehatan termasuk Rumah Bersalin, Puskesmas, Balai Kesehatan dan Praktek Dokter.

BAB II
PENGGOLONGAN MINUMAN BERALKOHOL

Pasal 2
Minuman beralkohol dikelompokan dalam golongan sebagai berikut :

a)minuman beralkohol golongan A yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1 % (satu prosen) sampai dengan 5 % (lima prosen);
b)minuman beralkohol golongan B yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5 % (lima prosen) sampai dengan 20 % (dua puluh prosen);
c)minuman beralkohol golongan C yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20 % (dua puluh prosen) sampai dengan 55 % (lima puluh lima prosen).

BAB III
PENGEDARAN, PENJUALAN DAN PENGUNAAN
Pasal 3

(1) Setiap orang atau Badan Hukum di Daerah dilarang mengedarkan, dan atau menjual minuman beralkohol golongan A, B dan C.

(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) pasal ini, minuman beralkohol yang mengandung rempah-rempah, jamu dan sejenisnya untuk tujuan kesehatan.

(3) Minuman untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Walikota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4
Siapapun dilarang menjadi penjual langsung untuk diminum ditempat minuman beralkohol golongan A, B dan C, kecuali di :

a. Hotel berbintang 3, 4 dan 5;
b. Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Seloka;
c. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sesuai dengan Keputusan/Peraturan Walikota.

Pasal 5

(1) Setiap orang dilarang menggunakan atau meminum minuman keras atau yang mengandung alkohol sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Peraturan Daerah ini di tempat-tempat umum.

(2) Tempat-tempat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan/Peraturan Walikota.

Pasal 6

Setiap orang dilarang mabuk ditempat umum di Daerah sebagai akibat meminum minuman beralkohol.

Pasal 7

Siapapun dilarang menjadi Pengecer minuman beralkohol golongan A, B dan C kecuali Toko Bebas Bea (Duty Free Shop) dan tempat-tempat sebagaimana dikecualikan dalam Pasal 4 Peraturan Daerah ini.

Pasal 8

(1) Toko Bebas Bea (Duty Free Shop) dilarang menjual minuman beralkohol golongan A, B dan C, kecuali secara eceran kepada :

a. anggota Korps Diplomatik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1957;
b. tenaga (Ahli) Bangsa Asing yang bekerja pada lembaga internasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1955;
c. mereka yang akan berpergian ke Luar Negeri;
d. mereka yang baru tiba dari Luar Negeri.


(2) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus dibuktikan dengan kartu identitas.

(3) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b pasal ini, yang dilakukan di toko Bebas Bea (Duty Free Shop) di luar terminal keberangkatan atau kedatangan hanya untuk dikonsumsi sendiri.

(4) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ayat (1) pasal ini, yang dilakukan ditoko Bebas Bea (Duty Free Shop) Terminal Keberangkatan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta harus dengan memperlihatkan paspor dan tanda bukti penumpang (Boarding Pass).

(5) Penjualan secara eceran kepada mereka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d pasal ini, yang dilakukan ditoko Bebas Bea (duty Free Shop) Terminal Kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta harus dengan memperlihatkan paspor dan tanda bukti penumpang (Boarding Pass).

BAB IV
PENYITAAN DAN PEMUSNAHAN
Pasal 9

(1) Semua minuman beralkohol golongan A, B dan C sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 yang ada di Daerah selain yang ada di tempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 Peraturan Daerah ini disita dan dimusnahkan.

(2) Tata cara Penyitaan dan Pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

(1) Pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. dalam hal pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan dan/atau penyidikan, dilakukan oleh penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau PPNS dengan disaksikan oleh Pejabat Kejaksaaan, Pejabat Pemerintah Daerah serta pihak terkait lainnya;

b. dalam hal pemusnahan minuman beralkohol dilaksanakan setelah putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pemerintah Daerah serta Pejabat dari Instansi terkait lainnya.

(2) Pemusnahan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan dengan pembuatan Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat :

a. nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atas asal minuman beralkohol;
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

BAB V
PENGENDALIAN

Pasal 11

Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 12

Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan, pemberantasan, peredaran dan penggunaan minuman beralkohol melalui kegiatan :

a. memberikan informasi adanya penyalahgunaan dan penyimpanan penggunaan minuman beralkohol kepada instansi yang berwenang;
b. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kasus yang terjadi yang berhubungan dengan peredaran dan perdagangan minuman beralkohol.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 13

(1) Barang siapa melanggar Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 7 Peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling tinggi sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(2) Barang siapa melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling tinggi sebesar Rp.5.000.000,- (Lima juta rupiah).

(3) Minuman beralkohol sebagai barang bukti pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, dirampas untuk dimusnahkan oleh instansi atau petugas yang berwenang.

(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, adalah pelanggaran.

BAB VIII
P E N Y I D I K A N

Pasal 14

Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 Peraturan Daerah ini, mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Industri/perusahaan minuman beralkohol yang sudah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dan telah memperoleh ijin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan tetap dapat menjalankan usahanya serta dapat membawa/mengangkutnya dengan melintas atau melalui jalan-jalan di Daerah sampai berlakunya ijin dengan ketentuan tidak boleh menjual dan/atau mengedarkan di Daerah.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Walikota.

Pasal 18

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang.

Ditetapkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005
WALIKOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. WAHIDIN HALIM
Diundangkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005
SEKRETARIS DAERAH KOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. M. HARRY MULYA ZEIN
LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E





PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG
NOMOR 8 TAHUN 2005
TENTANG
PELARANGAN PELACURAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA TANGERANG,

Menimbang :

a. bahwa Pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat;

b. bahwa dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek Pelacuran di Kota Tangerang, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pelarangan Pelacuran;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039);

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3518);

4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

8. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 Seri C);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANGERANG
dan
WALIKOTA TANGERANG

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

PERATURAN DAERAH TENTANG PELARANGAN PELACURAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1.Daerah adalah Kota Tangerang.
2.Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang.
3.Walikota adalah Walikota Tangerang.
4.Pelacuran adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik ditempat berupa Hotel, Restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di Daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa.
5.Tim adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari Dinas/Instansi dan pihak terkait.
6.Pelarangan adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/ tidak diperkenankan.
7.Pelacur adalah setiap orang baik pria ataupun wanita yang menjual diri kepada umum untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
8.hubungan Seksual adalah hubungan perkelaminan antara dua jenis kelamin yang berbeda atau dua jenis kelamin yang sama.

BAB II
PELARANGAN

Pasal 2

(1) Setiap orang di Daerah baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dilarang mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan pelacuran.

(2) Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi tempat-tempat hiburan, hotel, penginapan atau tempat-tempat lain di Daerah.

Pasal 3

Setiap orang dilarang membujuk atau memaksa orang lain baik dengan cara perkataan, isyarat, tanda atau cara lain sehingga tertarik untuk melakukan pelacuran.

Pasal 4

(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.

(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau ditempat-tempat yang kelihatan oleh umum.

BAB III
PENINDAKAN DAN PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Penindakan

Pasal 5

(1) Walikota berwenang menutup dan menyegel tempat-tempat yang digunakan atau yang patut diduga menurut penilaian dan keyakinannya digunakan sebagai tempat pelacuran.

(2) Tempat-tempat yang ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilarang dibuka kembali sepanjang belum ada jaminan dari pemilik/pengelolanya bahwa tempat itu tidak akan digunakan lagi untuk menerima tamu dengan maksud melakukan perbuatan pelacuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 6

Terhadap orang yang terjaring razia karena melanggar ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah ini, Walikota atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan yang bersangkutan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya melalui Kepala Kelurahan untuk dibina.

Bagian Kedua
Pengendalian

Pasal 7

Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim.

Bagian Ketiga
Partisipasi Masyarakat

Pasal 8

(1) Setiap masyarakat atau siapapun berkewajiban untuk melaporkan kepada petugas atau pejabat yang berwenang apabila ia mengetahui langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran.

(2) Petugas atau pejabat yang berwenang setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, wajib menindaklanjutinya serta memberikan perlindungan kepada si pelapor.

BAB IV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 9

(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini, diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, adalah Pelanggaran.

BAB V
P E N Y I D I K A N

Pasal 10

Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Peraturan Daerah ini, mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut :

a.Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana;
b.Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c.Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.Melakukan penyitaan benda atau surat;
e.Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f.Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g.Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h.Menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
i.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.


(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 12

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan kemudian oleh Walikota.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang.

Ditetapkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005
WALIKOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. WAHIDIN HALIM

Diundangkan di T a n g e r a n g
Pada tanggal 23 Nopember 2005
SEKRETARIS DAERAH KOTA TANGERANG,
Cap/ttd
H. M. HARRY MULYA ZEIN
LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG TAHUN 2005 NOMOR 8 SERI E